KONDISI SOSIAL DI CIREBON ABAD 19

Servatius
Suatu aspek sejarah Cirebon yang luar biasa adalah bahwa jikalau permulaan abad ke-19 penuh dengan pembangkangan heroik melawan ekonomi kolonial yang masuk ke dalam, sebaliknya pembangkangan ini hilang lenyap selama tahun-tahun berikutnya dalam abad itu. Tiba-tiba daerah itu menjadi seolah-olah yang paling damai dari semua distrik di Jawa. Padahal di sini juga tuntutan sistem tanam paksa dari 1830-1870, yang mempunyai perkebunan-perkebunan negara kolonial di seluruh Jawa, sangat menekan rakyat dalam bentuk tenaga kerja dan penggunaan tanah. Dari laporan-laporan dapat diketahui, bagaimana pemilikan tanah para petani dihancurkan oleh ekonomi perkebunan.
Mengenai sejarah politik dan pemerintahan Cirebon, abad ke-19 juga mendatangkan perubahan-perubahan dan penyesuaian dengan politik dan pemerintahan langsung Negeri Belanda. Pengangkatan kembali sultan Kanoman pada tahun 1806 tidak berhasil mengakhiri pemberontakan-pemberontakan. Pada tahun 1809, H.W. Daendels mengakhiri status khusus dari sultan-sultan dan pangeran-pangeran dari Cirebon sebagai kekuasaan setengah merdeka. Daendels memutuskan bahwa Cirebon menjadi suatu propinsi pemerintah (dengan arti Hindia Timur Belanda), dan para sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur, dan kekuasaan politik apa pun yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda. Perubahan-perubahan yang diadakan oleh Daendels tidak diperinci lebih lanjut dan tidak berarti banyak, karena sejak lama para sultan tidak ada keinginan untuk menjalankan kekuasaan mereka, atau mereka menggunakannya dengan cara lain atau untuk tujuan lain daripada Belanda. Pendeknya, tidak ada yang menentang atau kelihatan adanya kesulitan sebagai akibat tindakan Belanda yang sewenang-wenang itu. Raffles, pejabat Inggris yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, melangkah lebih jauh lagi. Ia memberikan kepada para sultan tanah persawahan bebas pajak yang ditentukan secara jelas, dan memberikan kepada Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman suatu subsidi uang masing-masing sebesar 8000 rupee setahun. Ketika Belanda kembali di Jawa (1819) setelah Napoleon jatuh, dan setelah perjanjian perdamaian Kongres Wina, Belanda mengesahkan keadaan yang diciptakan oleh Daendels dan Raffles. Kedudukan politik para sultan dihapuskan, tetapi tiap sultan (Kasepuhan dan Kanoman) menerima subsidi uang sebesar 18.000 gulden setahun. Sultan-sultan pertama yang "digaji" wafat pada tahun 1845 dan 1851. Kira-kira 30 tahun kemudian, Cirebon menjadi suatu residensi 'Hindia Belanda' seperti residensi-residensi lainnya di bawah pemerintahan langsung Belanda, tetapi pemerintahan langsung ini berarti, bahwa pejabat-pejabat Belanda, seperti residen dan asisten residen, pada tingkat distrik semua dibantu oleh kepala-kepala pemerintahan pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh seorang bupati. Bupati-bupati Cirebon pada abad-abad ke-19 dan ke-20 bahkan tidak diambil dari keluarga sultan, melainkan dari tempat lain, dan jika ada bupati yang berasal dari keluarga sultan, maka ini hanya kebetulan saja dan tidak disengaja. Para sultan Cirebon malahan mengundurkan diri ke dalam istana-istana mereka, dan menjadi pelindung kesenian tradisional mengukir kayu, membuat wayang dan membatik.
Tidaklah terlampau aneh bahwa penghapusan kekuasaan politik para sultan memungkinkan mereka untuk mencurahkan perhatian kepada pengembangan seni dan budaya. Bukannya kebudayaan istana sendiri, melainkan mendorong kesenian tradisional di desa-desa dan di antara orang-orang yang tinggal di atas tanah sultan. Bidang inilah yang mengembalikan sebagian pengaruh dan prestise keluarga sultan di mata rakyat Cirebon. Menyadari bahwa para sultan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kesengsaraan yang mereka derita, maka penduduk di desa-desa barangkali pertama-tama tidak mengindahkan mereka. Tetapi kemudian, waktu kolonialisme makin menyerbu ke dalam desa-desa dan masyarakat, orang-orang mulai memihak kepada sifat-sifat khusus kebudayaan istana Cirebon dan kharisma keagamaan sultan sebagai keturunan wali keramat, Sunan Gunung Jati. Kemudian, istana sekali lagi menjadi pusat bagi rakyat. Di Cirebon rupanya tradisi istana untuk memberi dorongan kepada kesenian di luar tembok istana telah menciptakan hubungan yang kokoh dengan para petani. Usaha rakyat untuk menemukan kembali kepribadian mereka selama penetrasi kolonialisme dan pembaratan memungkinkan terjadinya hubungan ini. Dengan demikian, apa yang telah dilepaskan oleh para sultan kepada Belanda dalam bentuk material, telah kembali pada mereka dalam bentuk spiritual.....

Sumber : Catatan Ikhwanul Falah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel